Rabu, Desember 30, 2009

Anugerah Konstitusi

Barangkali hal yang paling membahagiakan bagi diri saya, di awal langkah baru di SDN Wonosari I adalah ketika menerima Anugerah dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertajuk Anugerah Konstitusi Bagi Guru PKn Terbaik Tingkat Nasional tahun 2009. Meski saya maju sebagai Finalis pada kegiatan tersebut masih berstatus sebagai guru di SDN Soka, Wonosari. Ini bisa dimaklumi karena sampai saat ini pun, Surat Keputusan Bupati Gunungkidul tentang mutasi dari SDN Soka ke SDN Wonosari I, belum saya terima, sehingga secara hukum, status kepegawaian saya masih di tempat yang lama (SD Soka).
Penghargaan ini berawal dari Diklat PKn SD Jenjang Dasar yang dilaksanakan oleh PPPPTK PKn/IPS Malang, yang saya ikuti pada tahun 2008. Pada diklat ini alhamdulillah saya masuk peringkat III. Dari sinilah sehingga bulan Oktober 2009, saya mendapat panggilan dari Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Depdiknas untuk mengikuti Seleksi Calon Penerima Anugerah KOnstitusi 2009 Bagi Guru PKn Terbaik Tingkat Nasional.
Menurut MKOnline – Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), peranan para guru terutama guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangat penting dalam upaya memberikan pemahaman dan pendidikan kesadaran berkonstitusi kepada masyarakat melalui pendidikan sejak dini di bangku sekolah. Untuk itu, MK mempersembahkan Anugerah Konstitusi bagi para guru PKn berprestasi dari seluruh Indonesia.
Dalam acara ini, terpilih 18 Guru Pendidikan Kewarganegaraan terbaik dari 45 finalis yang berasal dari seluruh Indonesia untuk menerima Anugerah Konstitusi 2009. Para penerima anugerah tersebut terbagi dalam tiga kategori satuan pendidikan, yakni Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah, (MTs) serta Sekolah Menengarh Atas (SMA/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah (MA).
Anugerah Konstitusi 200 bagi Guru PKn tingkat nasional kategori SD/MI diraih oleh Eko Pramono, Winarto, dan Lousiane M. Sementara Anugerah Konstitusi bagi Guru PKn Tingkat Nasional Kategori SMP/MTs berhasil diraih oleh Samsuar Sinaga, Dian S, dan Susi. Sedangkan untuk kategori SMA/SMK/MA, penghargaan jatuh pada Harwanto, Aisyatun, dan Arief Kriswahyudi.
Penghargaan diberikan langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD, dan Wakil Ketua MK, Abdul Mukthie Fadjar, bertepatan dengan Hari Guru Nasional 2009, Rabu (25/11) di gedung MK, Jakarta.
Saat menyampaikan sambutannya, Mahfud menilai peranan guru PKn sangat penting dalam rangka mewujudkan pendidikan sadar berkonstitusi di masyarakat. “Pemberian Anugerah Konstitusi 2009 ini merupakan salah satu wujud perhatian MK kepada para guru PKn,” jelas Mahfud.
Penghargaan ini, lanjut Mahfud, diharapkan dapat mendorong para guru PKn untuk lebih memperdalam wawasan mengenai konstitusi. “Pemahaman tersebut nantinya akan digunakan untuk mendidik para siswa mengenai budaya sadar berkonstitusi,” ujarnya.
Budaya sadar berkonstitusi, menurut Mahfud, bukan hanya sekadar paham mengenai konstitusi tetapi juga melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. “Oleh karena itu, para guru di sini diharapkan tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik agar para siswa sadar berkonstitusi. Hal itu merupakan modal bagi kelangsungan bangsa jika dilihat dari sisi konstitusi,” tambahnya.
Anugerah Konstitusi 2009 bagi Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Terbaik Tingkat Nasional yang digelar dalam rangka menyambut Hari Guru Nasional 2009 ini merupakan kerjasama antara MK dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.

Selasa, Desember 29, 2009

Duhai Istriku ...

Istriku ... Ingin kusentuh dengan lembut wajahmu, karena keharuanku ketika engkau memperlakukan buah hati kita, buah cinta suci kita. Ketika engkau bercanda dengan anak-anak kita, ketika engkau tertawa bersama mereka, ketika engkau memeluk mereka, dalam dadaku bergemuruh rasa syukur yang tiada henti, rasa bahagia yang bagaikan air pegunungan yang sejuk menyiram tubuhku. Aku bersyukur memilikimu duhai istriku, aku bahagia dapat bersanding dengan seorang wanita sempurna seperti dirimu. Wanita bersahaja namun perkasa dalam setiap langkah cinta kita, wanita yang selalu tersenyum pada suaminya, meski aku tahu, guratan kelelahan menyelimuti wajah teduhmu. Duhai istriku ... ketika sang waktu berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan semua yang ada, aku takkan pernah gelisah karena engkau selalu berada di sampingku, membelai, meneduhkan hati dan menjadi teman bercerita yang sangat akrab.
Istriku .... di penghujung tahun ini, bukan bunga mawar yang kupersembahkan padamu, bukan seuntai cincin yang gemerlap di jemarimu, bukan harta benda yang ingin kuberikan. Aku hanya ingin memberikan cinta dan hati ini seutuhmu untukmu, wahai istriku, wanita sempurna yang telah menjadi bagain hidupku.
AKU MENCINTAIMU DIK UNUK, dengan cinta yang semurna, cinta takkan pernah terampas oleh siapapun ..
Dik, ingin kubisikkan sekali lagi : AKU MENCINTAIMU, I LOVE YOU, ANYMORE AND ANYTIME.

Cinta itu semakin kuat

Dik... Engkau ibarat rembulan di malam yang gelap di mana semua cahaya mulai meredup dan hilang dalam pandangan. Engkau bagaikan setitik sinar yang mampu menembus relung-relung mataku dan menuntun untuk menatapmu lebih dalam. Engkaulah wanita sempurna yang dikirimkan oleh Alloh untuk mendampingi hidupku, meneruskan keturunanku, dan yang pasti : engkau telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku.
Dik, ini bukan sekedar kata-kata hampa tanpa makna, bukan pula kata-kata rayuan yang hanya untuk menyenangkan hatimu semata, namun semua yang kutuliskan di sini adalah ungkapan yang paling dalam dari lubuk hatiku.

Kerendahan Hati (Bagian 1)

Tanggal 26-30 Desember 2009, penulis bersama Kepala SD Wonosari I, Bapak Drs. Janurisman, dan Ibu Parni, S.Pd, mengikuti Pelatihan Program Penjaminan Mutu Pendidikan Bagi Guru, di sebuah hotel, di wilayah Umbulharjo, Yogyakarta yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau saya bercerita tentang jalannya pelatihan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang istimewa bagi pembaca, pelatihan bagi guru adalah hal yang sangat biasa. Namun ada sesuatu yang menjadi istimewa dengan adanya sebuah kejadian kecil berikut.

Mungkin karena bersamaan dengan waktu liburan, hotel penuh oleh pengunjung yang menginap. Ditambah dengan datangnya rombongan Darma Wisata, salah satu SMP dari Ciamis, Jawa Barat, sebanyak 6 bis. Suatu sore, hari ke-2 menjelang sesi malam, ketika para peserta dengan mengenakan baju batik telah bersiap-siap menuju ruang pelatihan, seorang peserta pelatihan tiba-tiba didatangi oleh salah seorang Ibu guru SMP dari Ciamis.

“Pak, ada 3 murid saya yang tidak makan nasi”, tanpa basa-basi Ibu Guru tadi langsung mencuahkan keluhannya. Mungkin dalam pikirannnya peserta pelatihan tadi adalah petugas hotel. Jawaban apa yang akan diberikan oleh peserta pelatihan terhadap keluhan Ibu guru tadi. Mungkin dalam pikiran pembaca akan sama dengan pikiran saya. Saat itu yang terlintas dalam pikiran saya, peserta pelatihan akan menjawab, “Maaf bu, saya tidak tahu”, atau “Maaf bu saya bukan petugas hotel”, atau bahkan dengan bahasa yang lebih halus peserta tadi akan menjawab, “Mohon maaf Bu karena saya bukan petugas hotel, Ibu bisa bertanya ke resepsionis yang berada di sebelah sana, Bu”

Apa yang saya pikirkan ternyata meleset 100%, peserta pelatihan tersebut dengan sangat sopan menjawab.

“Iya, bu, ada yang bisa saya bantu?”

“Begini pak, ada 3 murid saya yang tidak makan nasi”.

“O ya Bu, terima kasih, lantas apakah mereka terbiasa makan mie, kentang, atau makanan lain?”

“Semua bisa pak asal bukan nasi”, lanjut Ibu guru.

“Baik bu, nanti saya sampaikan ke menejemen hotel keluhan ibu ini, ada lagi yang bisa saya bantu bu?”

“Saya kira cukup Pak, terima kasih Pak”.

Percakapan itu usai sudah, dan peserta pelatihan bergegas menuju resepsionis, untuk menyampaikan keluhan “salah alamat” tadi. Ketika Sang Ibu Guru mengetahui bahwa dia salah menyampaikan keluhan, mendadak wajahnya memerah menahan malu.

Apa yang bisa dipetik dalam peristiwa kecil di atas?

Barangkali dalam kondisi normal dan spontan, apabila kita mengalami peristiwa di atas, akan melakukan ucapan berikut “Mohon maaf Bu, saya bukan petugas hotel” atau kalimat senada lainnya. Namun yang ditampilkan oleh peserta pelatihan yang rela “berpura-pura” sebagai petugas hotel dan melayani keluhan Ibu Guru merupakan cerminan kedewasaan diri yang tinggi. Beliau mampu menekan egonya dan menempatkan diri untuk menutupi rasa malu dan memenuhi keluhan Bu Guru.


Dapatkah anda melakukan hal ini? Pasti bisa!