Jumat, Agustus 12, 2011

Sepeda baru, semangat baruku....


Kring.... kring ada sepeda...
Sepeda roda dua, kudapat dari mamam....
k'rena ku ingin olah raga ..

Nyanyian itu yang selala kusenandungkan dalam hati ketika Kamis, 11 Agustus 2011 secara mendadak istriku mengajak ke toko untuk membelikanku sebuah sepeda. Sepeda ini rencananya akan kupakai ke tempat kerja. Bukan latah ingin seperti para PNS di Kota Yogyakarta yang punya progran SEGASEGAWE (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe) tetapi didasari oleh kesadaran pribadi bahwa akhir-akhir ini aku mudah sekali sakit. Flu dan badan lemah-lunglai adalah makanan sehari-hari bagiku. Sehari sehat, sehari sakit, demikian hari-hari yang kujalani.

Memang seorang teman pernah mengatakan bahwa umur 40 adalah "puncak kemunduran kesehatan seseorang. Pada masa ini akan mudah terserang penyakit bila daya tahan tubuh tidak dipersiapkan sebelumnya", demikian temanku berteori. Sayapun segera membenarkan kata-katanya karena memang mengalami sendiri. Akhir-akhir ini mudah sekali sakit. Jujur saya sadari, selama ini sangat malas berolah-raga. Himpitan pekerjaan dan seabreg alasan lain mendorongku menjadi manusia malas menggerakkan badan.

Maka, sebuah "skenario" kami buat, sepeda motor yang selama ini saya pergunakan untuk bekerja, dijual. Sebagai gantinya, saya harus mau bersusah - payah mengayuh sepeda onthel menuju tempat kerja. Jalan yang menanjak, kaki yang pegal-pegal atau sedang berpuasa, tidak boleh menjadi alasan untuk menggagalkan "skenario" ini. Demi kesehatan yang harus kuraih....!!!!

Singkat cerita, sepeda merah akhirnya menjadi milik kami, dan pagi tadi, Jumat, 12 Agustus 2011, saya benar-benar berangkat kerja dengan mengayuh sepeda. Jalanan yang menanjak dan riuh-rendah jalanan oleh lalu-lalang sepeda motor tidak menyurutkan niatku karena sinar mentari pagi yang menggerayangi tubuh, lebih menghangatkan semangat 45 di dada ini.

Kring.... kring..... ada sepeda.... sepeda roda dua...

Bait lagu itulah yang selalu kusenandungkan mengiringi ayunan pertamaku, meskipun tadi malam diriku tidak sempat makan sahur karena bangun kesiangan. Namun demi kesehatan, semua akan terasa enak.....

Rabu, Agustus 10, 2011

Istriku (juga) Keluar dari KPRI

Senin pagi, 8 Agustus 2011 ketika kami sibuk menjalani rutinitas pagi hari. Mandi, memberi sarapan dan melayani si kecil, mendadak saya dan istriku "kembali" membicarakan masalah Permohonan Berhenti dari Anggota KPRI XXXXX. Topik itu kembali mengusik hati kami berdua, sebab istriku telah mengirimkan Surat Permohonannya sejak bulan April 2011. Artinya telah 4 bulan berlalu belum ada tanda-tanda Pengurus KPRI menanggapi dengan serius. 4 surat telah kami layangkann untuk mengkonfirmasi apakah permohonan berhenti dikabulkan atau ditolak?

Memang beberapa bulan yang lalu, istri saya dipanggil menghadap pengurus. Namun ternyata pemanggilan itu bukan memberikan keputusan, tetapi justru hanya "merayu" supaya dia tidak keluar. Bahkan dengan membawa-bawa jargon "Koperasi adalah ladang ibadah kita!" Sebuah argumen yang tidak bisa kami terima. Bagaimana mungkin koperasi yang membungakan uangnya bisa dikatakan sebagai ladang ibadah? Bagaimana mungkin modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari anggota, mendadak dalam waktu singkat disikat oleh segelintir orang, bisa dikatakan mendatangkan amal? Bagaimana mungkin sebuah gerakan yang cenderung mengambil nilai-nilai kapitalis dan mengesampingkan nilai-nilai kekeluargaan bisa dikatakan lapangan untuk mencari amal ibadah?

Sebuah argumen yang mengada-ada!!!
Maka pagi itu, kami kembali serius memperbincangkan langkah selanjutnya untuk menegakkan prinsip yang telah kami ambil : KELUAR DARI KPRI.
Bahkan dalam hati kami sudah terselip niat, apabila pengurus sengaja mengulur-ulur waktu, kami akan mencari nasehat (advis) ke Pusat Koperasi Pegawai Negeri (PKPN)atau bahkan kalau perlu ke Dinas terkait. Semua itu akan kami tempuh karena keseriusan niat kami untuk keluar.
Pagi yang semula indah, terpaksa kami isi dengan diskusi yang cukup membuat kening berkerut.

Semua pun berlalu seperti apa adanya. Mendadak, sebuah SMS masuk ke HP ku. Dari istriku... Dia mengabarkan bahwa Pengurus KPRI XXXX mengabulkan permohonannya untuk keluar sebagai anggota. Aku pun melonjak gembira menerima kabar tersebut. Apalagi disertai permintaan manjanya untuk diantar ke kantor KPRI mengambil semua tabungan/simapanannya.
Siang yang menyengat tidak kami rasakan, karena hati yang bahagia lebih kuat menghujam di dada. Kami berdua, layaknya sepasang kekasih, berangkat menyusuri jalan yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor, meluncur untuk mengambil tabungannya di koperasi.

Tapi, kebahagiaan yang telah membahana di dada mendadak semakin surut, ketika setibanya di kantor, kami mendapat jawaban : Mohon maaf Pak, mohon maaf Bu, ternyata jumlah simpanan Ibu belum kami rekap. Mohon kesabarannya, apabila telah selesai di rekap, Ibu akan kami hubungi. Silakan tinggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Simpanannya belum direkap?
Akan kami hubungi? Bahkan ketika saya mengetikkan postingan ini pun pengurus belum juga menghubungi istriku untuk menerima haknya.

Maka di hatiku, aku hanya berbisik lirih....
Ternyata KPRI ku tersayang benar-benar di ambang kebangkrutan......

Sepeda motorku terjual : Dilema untuk anakku

Mas Ibnu, pada pagi ini Bapak akan memberitahukan sesuatu yang mungkin saja membuatmu kurang berkenan. Sebenarnya hal ini sudah sangat lama kami rencanakan, hanya saja kesepakatannya baru saja Bapak terima melalui SMS.

Hal yang ingin Bapak katakan adalah : Motor Suzuki SMASH kita akan dibeli oleh teman Bapak yang bernama Pak Yuwono. Kesepakatan akan menjual terjadi sejak Bulan April lalu, tapi pak Yuwono baru akan membayar nanti siang.Hal ini kami lakukan mumpung Pak Yuwono berani membayar agak mahal.

Saya yakin kabar ini pasti tidak mengenakkan hati Mas Ibnu, namun terpaksa Bapak harus memberitahukannya.

Bapak dan Ibu bukan berarti kekurangan uang, atau sangat membutuhkan uang, tetapi hanya memanfaatkan momentum saja, mumpung ada yang berani membeli motor SMASH dengan harga yang agak lumayan.

Alasan lainnya, Bapak berencana berangkat kerja dengan menggunakan sepeda. Sepeda???? Mungkin Mas Ibnu kaget mendengarnya. Ya, Bapak akan berangkat kerja dengan menggunakan sepeda dengan tujuan biar badan sehat dan menyadari supaya tidak sombong karena keluarga kita sudah ada peningkatan.


Mas Ibnu bisa belajar memahirkan naik motor dengan motornya Umi. Oke Mas Ibnu, itu yang akan Bapak katakan. semoga Mas Ibnu bisa memahaminya. Ada banyak salah kata yang kurang berkenan Bapak mohon maaf.


Itulah pesan lengkap yang saya kirimkan ke akun FB anakku, Mas Ibnu Qusyairi, yang saat ini memang berjauhan dengan kami. Dia menuntut ilmu di kota Yogyakarta, sedangkan kami di Gunungkidul.
Pesan itu perlu saya tuliskan, karena akhir-akhir ini Mas Ibnu, anak pertama kami, yang baru duduk di kelas 3 SMP, baru semangat-semangatnya belajar naik motor. Memang saya dan istri saya melarang Mas Ibnu belajar naik motor, sebelum umur 15 tahun, karena emosinya belum stabil.
Nah, pada saat liburan semester kemarin, dia memohon izin akan belajar naik sepeda motor, dan kami mengizinkannya. Luaaaar biasa, hanya belajar selama 1/2 hari, dia sudah mampu mengendarai motor. Bahkan ketika bangun dari tidur siang, Mas Ibnu bertanya pada uminya, apakah tidak sedang bermimpi bahwa sekarang sudah bisa mengendarai motor?
Betapa bahagianya dia, kami dapat melihatnya di raut wajahnya yang polos.

Mendadak siang itu, teman mengirim SMS akan membayar pembelian motor yang telah kami bicarakan 4 bulan lalu. Artinya, mau tidak mau sepeda motorku yang "kebetulan" disukai oleh Mas Ibnu akan segera beralih tangan. Padahal kami belum pernah membicarakan hal ini pada anak-anak kami. Ya Alloh, rasanya hati ini teriris-iris bila membayangkan, Mas Ibnu pulang dari asrama dan bertanya : "Pak, di mana motor SMASH-nya, saya mau latihan....."