Sabtu, Juni 12, 2010

Ketika kami membangun Istana Cinta


Hari Ulang Tahunku di tahun 2010 ini benar-benar sangat istimewa. Betapa tidak? Setelah mendapat kejutan dari istri dan anak-anakku tercinta, pada hari itu tepatnya pukul 07.55 cangkulan pertama terayun sebagai pertanda dimulainya menggali tanah untuk pondasi. Ya! Hari itu kami memulai (lagi) pembangunan istana cinta kami. Setelah "bertahan" hidup dalam rumah bilik yang sangat kecil (ukuran 3 x 13) yang terbagi menjadi 3 ruangan, Insya Alloh kami akan segera memiliki rumah "yang sedikit layak" untuk kami tempati.

Saya bersyukur, dengan anugerah yang sangat besar yang diberikan Alloh kepadaku. Anugerah berupa Istri yang setia, tidak terlalu menuntut, dan pandai mengurus rumah tangga, serta anugerah anak-anak yang berhakti pada orang tua. Selama kurang-lebih 5 tahun kami hidup "berdesak-desakkan" di dalam rumah yang sangat kecil, saya belum pernah mendengar keluhan apalagi tuntutan dari istriku untuk membuatkan rumah yang layak. Sungguh, rumah yang kami diami selama 5 tahun itu, tidak layak disebut sebagai rumah. Tidak layak disebut sebagai tempat tinggal seorang guru. Selama 5 tahun tersebut kami hidup di rumah yang sangat kecil, kumuh, dan penuh sesak. Kamar tidur yang kami gunakan sekaligus sebagai trmpat menyimpan buku-buku dan kertas ang berserakan. Bahkan tempat tidur anakku, Ibnu yang kebetulan sudah asrama di Yogya, kami gunakan untuk menumpuk kertas dan diktat kuliah saat sertifikasi. Dengan kondisi seperti itu maka nyaris pemandangan yang kami hadapi setiap hari adalah tumpukan buku dan diktat dan kertas yang berserakan ke sana-kemari. Bukannya kami malas membersihkan, namun memang tidak ada tempat yang memadai untuk meletakkan buku-buku tersebut. Bila kondisi perasaan baru fit, maka kami nyaman-nyaman saja menghadapi semua itu, namun apabila perasaan baru "bete" maka kondisi rumah tersebut semakin "kadang" membuat kami semakin uring-uringan.
Bila malam hari menjelang, kadang kami berdua membayangkan, "Kapan kami memiliki rumah yang sedikit layak untuk ditempati?" Harapan itu kadang langsung tenggelam manakala kami melihat kebutuhan pendidikan yang harus kami persiapkan untuk anak-anak, karena memang kebutuhan yang paling penting dan mendesak adalah memberikan fasilitas bagi anak-anak kami untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Sehingga meskipun kami memiliki keinginan untuk segera memiliki sebuah rumah terpaksa kami pendam di dalam hati.

Namun, alhamdulillah, kami tetap bersyukur, bersyukur, dan bersyukur pada Alloh atas karunianya telah memberi kami sebuah rumah (meski sangat kecil) yang dapat kami jadikan tempat berteduh dari hujan dan panas, tempat kami saling mencurahkan rasa kasih-sayang di antara anggota keluarga, dan tempat kami bersujud dan beribadah pada Alloh.

Maka, sungguh hatiku amat berbahagia ketika cangkul mulai mengayun, menandai mulai dibangunnya rumah kami : ISTANA YANG TELAH LAMA KAMI NANTIKAN KEHADIRANNYA.