Sabtu, Oktober 02, 2010

Maafkan aku anakku : Ayah terlalu sibuk (Alasan sekunder mengapa aku mundur dari Pinkoncab Jamda 2010)

“KADANG AKU MERASA INGIN BERMAIN PS2 DENGAN AYAH.
WALAU HANYA 1 JAM, TETAPI AYAH IKUT BERMAIN.
TAPI AKU TAHU AYAH SIBUK, DAN AKU SEDANG SAKIT,
JADI TIDAK BOLEH BANYAK BERGERAK.
SEPERTINYA KEINGINANKU INI TIDAK AKAN TERKABUL.


ZAIM

Amplop putih itu tergeletak di tempat tidur, dengan spontan aku buka, ternyata isinya sebuah surat pendek dari anakku, ZAIM. Sejenak aku terpana membaca tulisan jujurnya. Sebuah ungkapan hati seorang anak kepada ayahnya. Aku hanya mampu terpaku di bibir tempat tidur sambil menatap tulisannya.

Sejurus mataku menerawang jauh, seminggu yang lalu, di saat aku sibuk menyiapkan Jambore Daerah sebagai Pinkoncab, Penyusunan KTSP SDN Wonosari I dan tugas-tugas Dinas lainnya, anakku Zaim, tergeletak di tempat tidur, sakit. Panas badannya yang tak kunjung turun membuat kami was-was, jangan-jangan terkenan DB atau penyakit serius lainnya. Kami berdua bergantian menjaganya, setalah mendapat pesan dari dokter, apabila sampai 3 hari panasnya tidak turun harap di bawa ke Rumah Sakit, untuk cek darah dan pemeriksaan lebih lanjut.

Ya, di saat anakku terbaring sakit itulah, aku "memaksakan" diri menyelesaikan tugas sebagai Pinkoncab, meski tidak optimal karena tugas dinas di sekolah juga menumpuk. Sebenarnya aku merasa berdosa juga, sebagai Pinkoncab namun jarang ke Kwarcab, dan hanya memerecayakan ketugasan sebagai Pinkon kepada Kak Sulis. Namun bagaimana lagi, sebuah kondisi yang sangat dilematis yang harus kuambil.

Hingga suatu pagi, dengan kondisi badan yang sangat panas Mas Zaim meminta selembar kertas, katanya mau menulis sesuatu -sebuah hobi yang dia miliki, selalu menuangkan seseuatu yang menarik hatinya di lembar kertas atau buku diary-. Setelah selesai menulis, dia meminta sebuah amplop. Aku hanya melayani semua permintaannya. Ternyata yang dia tulis adalah : SEBUAH SURAT untuk aku, ayahnya. Sebuah keinginan terpendam dari seorang anak. Bukan main PSnya yang dia butuhkan, tetapi kedekatan seorang ayah kepada anaknya. Meski dia hanya meminta 1 jam, ya 1 jam saja! Dan surat tersebut baru kutemukan, 1 Oktober 2010, sehari setelah aku menyatakan mundur dari Pinkoncab. Barangkali keputusanku untuk mundur telah dituntun oleh Alloh SWT. Aku masih terpaku memandangi surat dari anakku di bibir tempat tidur. Tiada terasa ada setitik air bening meleleh di mataku.

Aku hanya bisa berkata lirih :
"Maafkan aku anakku, ayah terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain, sampai melupakan dirimu.
Ayah berjanji akan menemanimu main PS, dan lebih memperhatikan dirimu. Maafkan aku anakku ......"