Rabu, Agustus 10, 2011

Istriku (juga) Keluar dari KPRI

Senin pagi, 8 Agustus 2011 ketika kami sibuk menjalani rutinitas pagi hari. Mandi, memberi sarapan dan melayani si kecil, mendadak saya dan istriku "kembali" membicarakan masalah Permohonan Berhenti dari Anggota KPRI XXXXX. Topik itu kembali mengusik hati kami berdua, sebab istriku telah mengirimkan Surat Permohonannya sejak bulan April 2011. Artinya telah 4 bulan berlalu belum ada tanda-tanda Pengurus KPRI menanggapi dengan serius. 4 surat telah kami layangkann untuk mengkonfirmasi apakah permohonan berhenti dikabulkan atau ditolak?

Memang beberapa bulan yang lalu, istri saya dipanggil menghadap pengurus. Namun ternyata pemanggilan itu bukan memberikan keputusan, tetapi justru hanya "merayu" supaya dia tidak keluar. Bahkan dengan membawa-bawa jargon "Koperasi adalah ladang ibadah kita!" Sebuah argumen yang tidak bisa kami terima. Bagaimana mungkin koperasi yang membungakan uangnya bisa dikatakan sebagai ladang ibadah? Bagaimana mungkin modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari anggota, mendadak dalam waktu singkat disikat oleh segelintir orang, bisa dikatakan mendatangkan amal? Bagaimana mungkin sebuah gerakan yang cenderung mengambil nilai-nilai kapitalis dan mengesampingkan nilai-nilai kekeluargaan bisa dikatakan lapangan untuk mencari amal ibadah?

Sebuah argumen yang mengada-ada!!!
Maka pagi itu, kami kembali serius memperbincangkan langkah selanjutnya untuk menegakkan prinsip yang telah kami ambil : KELUAR DARI KPRI.
Bahkan dalam hati kami sudah terselip niat, apabila pengurus sengaja mengulur-ulur waktu, kami akan mencari nasehat (advis) ke Pusat Koperasi Pegawai Negeri (PKPN)atau bahkan kalau perlu ke Dinas terkait. Semua itu akan kami tempuh karena keseriusan niat kami untuk keluar.
Pagi yang semula indah, terpaksa kami isi dengan diskusi yang cukup membuat kening berkerut.

Semua pun berlalu seperti apa adanya. Mendadak, sebuah SMS masuk ke HP ku. Dari istriku... Dia mengabarkan bahwa Pengurus KPRI XXXX mengabulkan permohonannya untuk keluar sebagai anggota. Aku pun melonjak gembira menerima kabar tersebut. Apalagi disertai permintaan manjanya untuk diantar ke kantor KPRI mengambil semua tabungan/simapanannya.
Siang yang menyengat tidak kami rasakan, karena hati yang bahagia lebih kuat menghujam di dada. Kami berdua, layaknya sepasang kekasih, berangkat menyusuri jalan yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor, meluncur untuk mengambil tabungannya di koperasi.

Tapi, kebahagiaan yang telah membahana di dada mendadak semakin surut, ketika setibanya di kantor, kami mendapat jawaban : Mohon maaf Pak, mohon maaf Bu, ternyata jumlah simpanan Ibu belum kami rekap. Mohon kesabarannya, apabila telah selesai di rekap, Ibu akan kami hubungi. Silakan tinggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Simpanannya belum direkap?
Akan kami hubungi? Bahkan ketika saya mengetikkan postingan ini pun pengurus belum juga menghubungi istriku untuk menerima haknya.

Maka di hatiku, aku hanya berbisik lirih....
Ternyata KPRI ku tersayang benar-benar di ambang kebangkrutan......

2 komentar:

  1. Memang sudah saatnya para PNS harus punya prinsip. Jangan mau didikte.... Bila tidak sesuai aturan atau melanggar hak azasi manusia, PNS jangan takut menyuarakan kebenaran.

    Salut untuk anda dan istri anda yang telah berani menunjukkan bahwa PNS TIDAK WAJIB menjadi anggota Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia (KPRI).

    Sekali lagi, salut untuk anda berdua. Semoga tulisann ini memberi inspirasi PNS-PNS lain yang selama ini tidak berani menyuarakan hati nuraninya..

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas tanggapan sekaligus pujian dari anda. Kami hanya ingin menegakkan prinsip saja, karena memang menurut UU menjadi anggota KPRI bukanlah sebuah kewajiban.

    BalasHapus